Bedah & Diskusi Buku: Kelapa Sawit dalam Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Sains, Ekonomi dan Lingkungan

Kamis (26/9), Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bekerja sama dengan Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) Kompas Group, serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY dan UNY, melaksanakan Bedah dan Diskusi Buku di Auditorium Sukadji Ranuwiharjo, MM FEB UGM. Acara yang bertajuk Kelapa Sawit dalam Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Sains, Ekonomi, dan Lingkungan ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif keberadaan dan kontribusi industri kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia dari perspektif sains, ekonomi, dan lingkungan. Acara tersebut menghadirkan Dubes Yuri O. Thamrin, M.A. selaku dewan pengawas IPOSS sebagai keynote speaker, serta tiga narasumber lainnya: Prof. Budi Mulyanto (Kepala Pusat Studi Sawit IPB), Petrus Gunarso, Ph.D. (Pakar Kehutanan dan Lingkungan), dan Akhmad Akbar Susamto, Ph.D. (Kaprodi Magister Ekonomi Pembangunan UGM). Diskusi dipandu oleh Siwi Istiana Dinarti, M.Sc. (Kaprodi Agribisnis Instiper Yogyakarta).

Dalam forum diskusi tersebut, ragam stigma dan tabir mengenai keberadaan industri sawit di kalangan masyarakat Indonesia mulai terbuka. Para peserta terlihat antusias menyimak materi yang dipaparkan oleh para narasumber. Prof. Budi Mulyanto mengawali paparannya dengan mengungkap sejarah, keistimewaan, dan kampanye negatif yang menerpa industri minyak sawit, seperti isu deforestasi dan emisi karbon. “Pada dasarnya, perang dagang dalam pasar minyak nabati global menjadi motif utama dari kampanye negatif tersebut. Tujuannya adalah untuk merusak citra sawit demi menjaga citra minyak nabati produk Eropa dan melindungi kepentingan petani Eropa, serta sebagai strategi untuk mendapatkan harga produk minyak sawit yang lebih murah,” ujarnya.

Petrus Gunarso, Ph.D. turut mengamini apa yang disampaikan Mulyanto tentang isu deforestasi. Ia menyebutkan bahwa komoditas sawit merupakan komoditas eksotis yang kontroversial dan terus ia perjuangkan di pasar global melalui dialog di World Trade Organization (WTO). Gunarso juga mengapresiasi FEB UGM yang telah memberikan ruang diskusi tentang sawit, “Saya salut kepada UGM yang telah mengakomodasi pertemuan mengenai sawit. Pasalnya, tidak banyak perguruan tinggi negeri di Indonesia yang menyambut baik sawit,” ujarnya.

Perspektif tentang sawit dan pembangunan berkelanjutan semakin lengkap ketika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Sawit telah menjadi salah satu komponen penting dalam perekonomian nasional, terutama sebagai salah satu komoditas unggulan. Kontribusi sawit terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi argumen yang mendukung keberlanjutan sektor ini dari sudut pandang ekonomi. Menurut Akhmad Akbar Susamto, Ph.D., dari perspektif pembangunan berkelanjutan, sawit memunculkan tantangan yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Tantangan tersebut meliputi: pertama, tantangan yang murni berasal dari pengusahaan sawit, termasuk kebutuhan lahan yang luas dan budidaya yang bersifat monokultur; kedua, tantangan yang muncul akibat perilaku negatif sebagian perusahaan sawit; dan ketiga, tantangan akibat lemahnya institusi hukum di Indonesia.

Kedepannya, “Jika kita ingin sawit berperan lebih besar dalam pembangunan berkelanjutan, maka pemaknaan ‘sawit sebagai anugerah yang perlu diperjuangkan’ harus mencakup upaya serius untuk mengatasi tantangan di atas. Tanpa upaya tersebut, posisi sawit dalam pembangunan berkelanjutan akan terus dipertanyakan,” tegas Ketua prodi Magister Ekonomika Pembangunan FEB UGM tersebut.

Di akhir sesi, Hilmar, yang juga merupakan salah satu mahasiswa MEP, mengajukan pertanyaan tentang daya saing sawit Indonesia di pasar global. “Mengapa daya tawar Indonesia lemah, padahal Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia dengan kontribusi 59 persen?” tanyanya. “Tidak ada yang perlu ditakuti dari Eropa. Kita siap bersaing, maka belajarlah sebaik-baiknya tentang sawit,” jawab Prof. Budi.

Herianto